Dalam doktrin Trias Politika, baik yang diartikan sebagai pemisahan kekuasaan maupun sebagai pembagian kekuasaan, khusus untuk cabang kekuasaan yudikatif, prinsip yang tetap dipegang ialah bahwa dalam tiap negara hukum badan yudikatif haruslah bebas dari campur tangan badan eksekutif. Ini dimaksudkan agar badan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya demi penegakkan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Sebab hanya dengan asas kebebasan badan yudikatif itulah dapat diharapkan bahwa keputusan yang diambil oleh badan yudikatif dalam sutu perkara tidak akan memihak, berat sebelah dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim itu sendiri dengan tidak perlu takut bahwa kedudukannya terancam.
Pokoknya, baik dalam perlindungan konstitusional maupun dalam hukum administrasi, perlindungan yang utama terhadap individu tergantung pada badan kehakiman yang tegas, bebas, berani, dan dihormati. Pasal 10 Universal Declaration of Human Rights memandang kebebasan dan tidak memihaknya badan-badan pengadilan (independent and impartial tribunals) di tiap-tiap Negara sebagai suatu hal yang esensial. Badan yudikatif yang bebas adalah syarat mutlak dalam suatu masyarakat yang bebas di bawah Rule of Law. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan dari campur tangan badan eksekutif, legislatif, ataupun masyarakat umum, didalam menjalankan tugas yudikatifnya. Tetapi jelas bahwa hal itu tidaklah berarti hakim boleh bertindak secara serampangan saja. Kewajibannya adalah untuk menafsirkan hukum serta prinsip-prinsip fundamental dan asumsi-asumsi yang berhubungan dengan hal itu berdasarkan perasaan keadilan serta hati nuraninya.
Bagaimanakah caranya untuk menjamin pelaksanaan asas kebebasan badan yudikatif? Kita lihat bahwa di beberapa negara jabatan hakim adalah permanen, seumur hidup atau setidaknya sampai saatnya pensiun. Dalam hal pengangkatan hakim di Indonesia berdasarkan atas rekomendasi badan legislatif. Ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif tidak dipengaruhi oleh fluktuasi suatu masa, sehingga dengan demikian diharapkan tugas yudikatifnya bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya sistem hukum perdata, hingga kini masih terdapat dualisme, yaitu:
1. Sistem hukum adat, suatu tata hukum yang bercorak asli Indonesia dan umumnya tidak tertulis.
2. Sistem hukum Eropa Barat (Belanda) yang bercorak kode-kode Prancis zaman Napoleon yang dipengaruhi oleh hukum Romawi.
Asas kebebasan badan yudikatif (independent judiciary) juga dikenal di Indonesia. Hal itu terdapat dalam penjelasan (pasal 24 dan 25) Undang-Undang Dasar 1945 mengenai kekuasaan kehakiman yang menyatakan: “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim”.