Sabtu, 21 Mei 2011


Demonstrasi; masihkah?
Berbicara megenai pergerakan atau aksi dari mahasiswa, tentu sudah menjadi barang yang tidak asing lagi. Mahasiswa memang selalu erat kaitannya dengan pergerakan atau aksinya. Hal demikianlah yang menjadikan sempurna peran dari mahasiswa sebagai kontrol sosial.
     Banyak sekali aksi dari mahasiswa yang kemudian menjadi hal yang sangat luar biasa, dan memberikan efek yang juga luar biasa. Sebut saja seperti Malari hingga Reformasi.
    Sebenarnya, dari sekian banyak aksi atau pergerakan mahasiswa dapat diambil satu simpul yang sangat identik dengan pergerakan mahasiswa, yang sering disebut unjuk rasa atau demonstrasi. Namun ironisnya, demonstrasi mahasiswa sekarang ini sering dikait-kaitkan dengan kerusuhan atau anarkistis. Demonstrasi sepertinya telah mengalami pergeseran makna yang sangat mendasar, yakni demonstrasi sebagai hal yang berarti akan menimbulkan efek negatif  atau bahkan pemicu dari kerusuhan atau keributan. Padahal, jika dikembalikan kepada makna sesungguhnya, arti kata dari demonstrasi dalam KBBI tidak ada sebersit pun tersirat bahwa demonstrasi merupakan hal yang negatif apa lagi kerusuhan atau keributan. Dalam KBBI, kata demonstrasi diartikan sebagai “tindakan bersama berupa pawai dan sebagainya, dengan membawa panji-panji, poster-poster, serta tulisan-tulisan yang merupakan pencetusan perasaan atau sikap para demonstran mengenai suatu masalah”. Jadi, jelaslah jika demonstrasi telah mengalami pergeseran makna ke arah negatif. Oleh karena itu, tidak ada yang salah dengan demonstrasi. Toh, jika saya simpulkan, demonstrasi hanyalah sebuah ekspresi dari seseorang atau kelompok orang yang timbul dari suatu stimulan.
   Kembali ke masalah pergerakan mahasiswa,  meskipun saat ini masih sering terjadi mahasiswa-mahasiswa yang turun ke jalan sebagai aksinya dalam mengawal pemerintahan atau pun kontrol sosial, namun nyatanya kondisi tersebut masih sangat memprihatinkan. Pergerakan mahasiswa saat ini sedang mengalami titik terendahnya dalam sejarah. Entah karena mahasiswa saat ini sangat disibukkan dengan kegiatan-kegiatannya atau mungkin mahasiswa saat ini sudah tidak lagi mempunyai hati nurani. Marilah kita tanyakan kepada diri masing-masing dengan hati yang terbuka.
   Jika diperhatikan, saat ini mahasiswa memang dikondisikan dengan berbagai agenda-agenda yang disusupkan dalam kurikulum-kurikulum perkuliahan. Kebijakan 75% kehadiran yang termuat dalam SOP Pendidikan Tinggi sebenarnya adalah kebijakan dari Dikti. Hal ini tak berbeda dengan NKK/BKK masa Orde Baru yang diterapkan 1974/1978. Kebijakan tersebut ditujukan untuk mengontrol aktivitas mahasiswa di kampus-kampus. Meredam secara struktural pergerakan mahasiswa dengan membuat sibuk mahasiswa dalam proses akademiknya. Sebuah usaha mengikis nalar kritis-sosial peran mahasiswa dalam proses demokrasi, baik di kampus maupun bangsa ini. Sangat ironis jika masa ini, 13 tahun setelah reformasi, proyek pembungkaman struktural oleh pemerintah mulai diterapkan kembali.
   Lembaga pendidikan tinggi yang mestinya mendidik justru membodohi dengan membohongi dengan realita yang terjadi. Mestinya pendidikan sebagai tempat membentuk generasi muda yang berperan penting pada masa mendatang namun dibatasi dan tidak dikembangkan potensinya. Maka, bagaimana masa depan bangsa ini jika hal tersebut tetap dibiarkan terjadi.
     Sebagai mahasiswa, saya kira perlu untuk melakukan gerakan pembaharuan yang menarik wacana ke arah pergerakan yang nyata. Karena mahasiswa bukan hanya berperan sebagai akademisi semata, mahasiswa merupakan harapan dari segenap bangsa. Demikianlah fungsi mahasiswa dapat mencapai sempurna.***